Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ghosting Kerap Memicu Depresi

Kisah 'ghosting' seperti cerita Felicia Tissue dan Kaesang Pangarep bukan sekedar tontonan. Nyatanya, di-ghosting atau ditinggal tanpa penjelasan banyak dikisahkan warganet, jauh sebelum video Felicia ramai menjadi perbincangan.

Psikolog klinis Anastasia Sari Dewi, founder pusat konsultasi Anastasia and Associate menjelaskan, dampak ghosting bisa berbeda pada setiap orang. Tergantung kemampuan toleransi stres korban, atau tingkat keakraban pasangan. Ia tak memungkiri bahwa pada beberapa kasus, misalnya pasangan yang sudah membicarakan pernikahan, ghosting kerap memicu depresi, kecemasan, dan kehilangan rasa berharga.

Namun menurut Sari, luka ini bisa disembuhkan. Langkah pertama, kenali diri sendiri. Ambil waktu untuk mengevaluasi apa yang sebenarnya salah dari hubungan tersebut, apa yang sebenarnya diri sendiri inginkan dan tidak pernah bisa dipenuhi oleh pasangan yang menghilang.

"Obati diri sendiri dulu dengan hal-hal baik yang bisa kamu lakukan terhadap dirimu sebelum memulai hubungan yang baru. Karena healing itu dimulai dengan kejujuran dan keterbukaan. Berani mengakui dulu, apa yang kamu rasakan?

"Kalau nggak ada itu, itu akan terus terbungkus, tertutup, tapi tidak selesai. Suatu saat memulai hubungan dengan orang baru lagi, ternyata lukanya belum sembuh. Itu nanti jadi trust issue," lanjutnya.

Menurutnya, korban ghosting harus bisa berhenti memposisikan diri sebagai 'korban'. Dengan begitu, ia bisa berhenti menyalahkan diri sendiri, serta memahami bahwa perpisahannya bukan karena diri tak berharga.

Kelak menjalin hubungan baru dengan orang lain pun, traumanya tidak terseret. Artinya, sudah benar-benar pulih dari luka lama.

"Aktualisasikan diri lagi, apa sih yang bisa kulakukan? Masa iya sebergantung itu. Kembali kebiasaan-kebiasaan yang sekian lama terjalin, dan terbiasa dilakukan, mulai didetoks lagi mulai dari nol. Supaya setelah ini menjalin hubungan baru dengan orang lain, maupun sendiri, sudah siap untuk pola yang baru," jelas Sari.

"Bukan membandingkan dengan yang lama atau secara nggak sadar memaksa pasangan lain untuk bertindak sama seperti sebelumnya," pungkasnya.